CONTOH MAKALAH
Makalah Tentang "KUDA LUMPING DIDESA NONGKO SEWU"
BAB I
PENDAHULUAN
Kuda lumping atau lazim disebut jaran kepang merupakan
kesenian rakyat yang bersifat ritual warisan nenek moyang. Hal itu dapat
dilihat dari ciri-ciri sebagai kesenian primitif, yaitu sebagai sarana upacara
ritual, gerakan sederhana diutamakan hentakan kaki, mengandung unsur magis/intrance,
bersifat spontan, merupakan kebutuhan/kelengkapan hidup (Soedarsono dalam
Minarto, 2002:21).
Seperti halnya kesenian rakyat pada umumnya,
kesenian jaran kepang kedudukannya di masyarakat memiliki tiga fungsi, yaitu
ritual, pameran atau festival kerakyatan, dan tontonan atau bersifat
entertainment, yaitu kepuasan batin semata (Hadi, 2005:206). Dalam fungsinya
sebagai ritual, jaran kepang memiliki berbagai macam simbol yang bernilai
ritual, baik yang berupa fisik seperti uborampen atau alat kelengkapan ritual,
pakaian, perhiasan dan lain-lain, pencaharian, sistem religi/kepercayaan, dan
kesenian.
Kesenian sebagai karya atau hasil simbolisasi
manusia merupakan sesuatu yang misterius. Namun demikian, secara universal,
jika berbicara masalah kesenian, orang akan langsung terimaginasi dengan
istilah indah . Jaran kepang sebagai hasil karya seni merupakan sistem
komunikasi dari bentuk dan isi . Bentuk yang berupa realitas gerak, musik,
busana, property, dan peralatan (ubarampen) secara visual tampak oleh mata
(oleh Lavi Strauss ini dinamakan struktur lahir atau surface structure (Ahimsa,
2001:61). Namun, isi yang berupa tujuan, harapan, dan cita-cita adalah
komunikasi maya yang hanya dapat dipahami oleh masyarakat landasan konseptual
yang bersumber pada kompleksitas sistem simbol.
BAB II
PEMBAHASAN
A. JARAN
KEPANG SEBAGAI SARANA UTAMA SUGUH DALAM RITUAL BERSIH DESA
Ritual bersih Desa di Desa Nongkosewu selalu
dilaksanakan setahun sekali pada bulan Jawa Suro. Tanggal pelaksanaannya
bersifat longgar berdasarkan kesepakatan warga desa, umumnya dipilih hari Jumat
atau Minggu. Pelaksanaan ritual bertempat di tempat yang dianggap keramat,
tempat bersemayamnya punden Desa, yaitu Mbah Karang. Mbah Karang dipercaya
sebagai pelindung desa karena Mbah Karang orang sakti yang pertama membuka hutan
yang dijadikan Desa dan di sekitarnya ditanami pohon nangka. Desa tersebut
namanya mengabadikan nama Mbah Karang yang menanam seribu pohon nangka di
desanya maka Desa tersebut dinamakan Desa Karangnongko. Desa itu memiliki tiga
Dusun, yaitu Dusun Krajan, Dusun Nongkosewu dan Dusun Baran Nongkosewu. Pusat
Desa dinamakan dusun Krajan, artinya tempat raja atau tempat penguasa. Dusun
Nongkosewu merupakan sumber asal mulanya Desa Karangnongko sedangkan Dusun
Baran Nongkosewu merupakan wilayah yang ditempati oleh orang-orang pendatang
dari Desa lain untuk bekerja (boro kerjo). Dari istilah boro kerjo, dusun
tersebut dinamakan Baran.
Pelaksanaan ritual bersih Desa pada pagi hari sekitar
pukul 07.00 sampai dengan 09.00, acara diawali dengan dongo ekral, yaitu mantra
berbahasa Jawa yang dipimpin oleh sesepuh Desa atau pawang/dukun; kemudian
dilanjutkan doa bersama berupa tahlil yang dipimpin ulama setempat. Setelah
selesai dilakukan makan syarat, semua peserta ritual memakan sedikit dari
uborampen berupa tumpeng, jenang abang, dan pecok bakal. Setelah itu,
dilaksanakan tarian Jaran kepang dengan penari/penggambuh dan pengendang Tuwek
yang memimpin dan mengendalikan prosesi. Kira-kira 8 10 menit kemudian,
penggambuh kerasukan (kalap/ ndadi) kemudian pemimpin prosesi diambil alih oleh
di tempat luas yang sudah disepakati. Di situ jaran kepang main untuk
hiburan/kesenangan dengan menampilkan berbagai macam atraksi maupun
keterampilan pemainnya. Pertunjukan diakhiri sekitar pukul 17.00. Pada malam
harinya, biasanya, dilanjutkan dengan kesenian tayuban atau wayangan atau
melanjutkan jaran kepang sampai pukul 03.00 dini hari. Pertunjukan apa yang
disuguhkan malam hari tergantung dari kesepakatan warga Desa yang mendapat
masukan dari sesepuh Desa atau pawang/dukun.
Dukun/pawang dalam banyak hal menjadi patron bagi warga
masyarakat, tetapi bagi kelompok lain, ia justru menjadi penghalang pencapaian
tujuan. Bagi kelompok agamis (kelompok ini oleh Geertz [1980] dinamakan santri,
sedang kelompok lain dinamakan abangan dan priyayi), perilaku sosial ritual
tersebut merupakan larangan agama karena dianggap musrik atau menyekutukan
Tuhan. Terlebih perilaku intrance/kalap atau kerasukan roh merupakan perbuatan
yang sangat dilarang sebab bersahabat dengan makluk Tuhan yang dilaknat, yaitu
setan. Oleh karena itu, kelompok itu berusaha untuk mencari/merebut pengaruh
dari masyarakat Desa dengan menebar pernyataan atau fatwa agama yang menentang.
Fatwa yang disampaikan melalui pengajian/pertemuan umum maupun secara
individual tentang perilaku ritual nyandran punden sebagai dosa besar dan
sanksinya adalah siksa neraka. Sedemikian kuatnya pengaruh fatwa yang
dilaksanakan maka memengaruhi perilaku sosial sehingga terjadi suatu perubahan
sosial. Yang semula ritual dilaksanakan oleh semua warga desa, kini cukup
diwakili sebagian warga, semula acara bersih Desa dilaksanakan tiga hari tiga
malam, kini hanya sehari semalam. Semula konsumsi disediakan oleh semua warga
Desa yang berupa makanan, kini sebagian warga menyumbangkan sedikit uang,
bahkan ada yang sama sekali tidak memberi. Dalam teori struktur fungsional,
kelompok itu (agamis) disfungsional bagi kelompok penganut ritual. dapat
menjaga keseimbangan dan harmonisasi warganya.
Perubahan perilaku sosial dipicu oleh perebutan pengaruh
sosial dan tujuan antara
kelompok agamis dan kelompok netral (nasional) sehingga
menimbulkan disfungsional
di antara keduanya. Akan tetapi, bersifat alamiah dan
evolusioner sehingga perubahan tersebut relatif lama.
B. PELEMBAGAAN JARAN KEPANG DI DESA NONGKOSEWU
Eksistensi jaran kepang Desa Nongkosewu merupakan satu
kesatuan system Desa Nongkosewu. Kesenian itu hidup didukung oleh
masyarakatnya, karena kedudukan jaran kepang itu memiliki fungsi yang amat
kuat. Di samping sebagai sarana rekreatif, kesenangan, juga berfungsi ritual.
Struktur pelembagaannya memiliki keunikan yang berbeda
dengan lembaga social lainnya. Keunikan struktur pelembagaannya terletak pada
keyakinan terhadap anggota imajiner lembaga yang bersifat transendental. Yang
dimaksud adalah hubungan dengan penguasa atau pelindung Desa yang bersifat
imaginatif , yaitu makluk maya yang lazim disebut punden atau mbahureksa.
Hubungan yang dibina dalam pelembagaan bersifat herarki emosional. Dalam
hubungan itu, aturan, konvensi maupun kode-kode yang terdapat di dalam jaran
kepang dianggap sebagai lembaga social yang mapan, sah yang pola perilaku
kemapanannya telah diterima, dipelihara dan dipertahankan sehingga selalu
tampak hidup dalam masyarakat, bahkan tanpa memedulikan bentuk dan isinya yang
hanya bergantung pada kesepakatan. Mengingat konvensi seperti itu dianggap
sebagai suatu lembaga sosial yang sah sebagaimana lembaga sosial lainnya,
pelanggaran terhadapnya dipandang sebagai ancaman terhadap keseluruhan struktur
social masyarakat dengan seluruh lembaga yang ada. terhadap lembaga jaran
kepang.
Struktur pelembagaan tersebut menunjukkan bahwa semua
komponen strutur berhubungan imajiner dengan punden/Mbah Karang. Pada umumnya,
masyarakat menerima bahwa orang yang paling dekat dengan punden adalah
pawang/dukun jaran kepang. Hal itu diterima karena dukun atau pawang jaran
kepang selalu memiliki kelebihan kekuatan batin. Pawang adalah orang yang
dipercaya dan memiliki kekuatan supranatural sehingga ia dapat berkomunikasi
langsung dengan alam transendental. Oleh karena itu, kedudukan pawang dalam hal
ini memiliki fungsi ganda. Pertama, sebagai penyelaras keseimbangan dan
kemapanan. Kedua, sebagai sarana komunikasi antara warga masyarakat dengan alam
bawah sadar yang fungsinya untuk meminta . Permintaan warga bermacam-macam
sesuai dengan kebutuhan, misalnya meminta keselamatan desa, meminta jodoh,
meminta sembuh, bahkan meminta kaya. Hubungan pawang dengan kepala Desa maupun
sesepuh Desa sifatnya konsultatif sehingga pawang memiliki otoritas ritual.
Dengan kata lain, pawang bukan bawahan kepala Desa atau
bukan pula andahan/ bawahan sesepuh desa/kamituwo. Sedangkan, hubungan antara
dukun dengan pengendang dan penari bersifat struktural emosional sekalipun
lunak. Pengendang dan penari merupakan orang yang dipercaya dapat
menerusjalankan warisan tradisional. Hal itu dapat dimengerti karena hidup
matinya pertunjukan jaran kepang terletak padapengendang yang mengikuti dan
memberi daya hidup pada pertunjukan.
Pengendang yang dipercaya memegang fungsi kendali dalam
ritual ditentukan oleh pawang, yaitu orang yang cukup berpengalaman dan berusia
lanjut, apalagi jika kendangannya bagus. Oleh karena itu, pengendang itu
dinamai pengendang Tuwek (tua/berusia lanjut). Sedangkan, penari penggambuh
adalah penari senior yang rata-rata memiliki ilmu-ilmu yang bersifat tertutup.
Secara konvensional, penggambuh itu akan mendapat julukan roh yang biasa
memasuki raga penari tersebut, misalnya Dhadhungawuk, Klono, Blerok, dan
lain-lain. Secara administratif, kehidupan
pelembagaan jaran kepang dijalankan oleh pengurus yang
strukturnya sangat sederhana dan bersifat fleksibel terbuka, cukup ada ketua,
sedangkan sekretaris, bendahara, seksi-seksi penunjangndilaksanakan secara
gotong-royong oleh siapa saja yang siap. Hal itu terjadi karena pelembagaan
jaran kepang tidak bersifat profit oriented, akan tetapi lebih bersifat
kenikmatan, pemuasan diri, dan tanggungjawab terhadap kelangsungan tradisi
desa.
Oleh karena itu, jika pentas atau diminta main, yang
dibicarakan pertama bukan honorariumnya, melainkan seberapa luas lapangan
permainan dan seberapa jauh lokasi dari desa. Hal itu dipakai sebagai pedoman
untuk menentukan jumlah peserta yang ikut. Jaran kepang tersebut milik
masyarakat desa sehingga anggotanya pun adalah masyarakat Desa yang tidak perlu
mendaftarkan diri dan tidak pernah ditanyakan kartu anggotanya. Itu
sebabnya jika diminta main, bukan honorarium yang diutamakan, tetapi dapat
menampung berapa pemain dan penoton. Dalam kenyataannya, perilaku berkesenian
pedesaan bukan lahan profesionalisme lebih-lebih mata pencaharian, tetapi lebih
berfungsi kebutuhan rohaniah dan pencerahan.
struktur pelembagaan jaran kepang di bawah ini.:
- Anggota dan Warga Desa
- Penari/penggambuh
- Dukun/Pawang Kamituwa/orangyang berusia lanjut
- Ketua/Pelindung Formal
- Pengendang Tuwek
- Punden Desa
BAB III
PENUTUP
Keberadaan pelembagaan jaran kepang di Desa Nongkosewu merupakan bagian dari sistem pelembagaan desa. Dengan demikian, secara struktur berfungsi dan saling berhubungan dengan sub-sub sistem lainnya. Dalam hubungannya dengan ritual bersih desa , Jaran kepang bermakna sebagai benteng desa/kekuatan desa, secara fungsional, ia dibutuhkan oleh masyarakat desa. Struktur pelembagaan jaran kepang Nongkosewu memiliki keunikan karena menganggap anggota lembaganya bukan hanya pada alam fisik, melainkan juga alam transendental, yaitu Punden/Mbahurekso Desa yang bernama Mbah Karang. Pola pelem-bagaannya dianggap mapan (status quo) sehingga dapat menjaga keseimbangan dan harmonisasi warganya.
Perubahan perilaku sosial dipicu oleh perebutan pengaruh sosial dan tujuan antara kelompok agamis dan kelompok netral (nasional) sehingga menimbulkan disfungsional
di antara keduanya. Akan tetapi, bersifat alamiah dan evolusioner sehingga perubahan tersebut relatif lama.
Thanks For Reading ^_^ Ini dulu tugasnya kakak dan saya posting di blog :)
Posting Komentar